mang Dadang kakak ipar ku…


Saat ku menikah tiga tahun yang lalu, rasanya dunia ini ada dalam genggaman ku. Betapa tidak, aku mendapatkan seorang lelaki yang menjadi impian semua perawan di seluruh di Desa ku. Aku menjadi istri seorang pejabat di kota yang kaya raya. Harta yang melimpah, tanah ribuan hektar, kontrakan dengan banyak pintu, kost-kostan, belum ruko² yang dikontrakan. Tidak hanya di daerah kampungku tetapi ada juga di daerah-daerah lainnya. Sudah terbayang di benakku, setiap hari aku tinggal di rumah besar dan mewah, naik mobil mewah dengan fasilitas serba sempurna.
Hari-hariku sebagai istrinya memang membahagiakan dan membanggakan. Teman-teman gadisku banyak yang iri dengan kehidupanku yang serba enak. Meski aku sendiri tidak yakin dengan kebahagian yang kurasakan saat itu. Hati kecilku sering dipenuhi oleh kekhawatiran yang sewaktu-waktu akan membuat hidupku jatuh merana. Aku sebenarnya bukanlah satu-satunya perempuan istri suamiku. Ia sudah beristri dengan beberapa anak. Mereka tinggal jauh di kota besar dan sama sekali tak pernah tahu akan keberadaanku sebagai madunya.
Ketika menikah pun aku sudah tahu akan statusnya ini. Aku, entah terpaksa atau memang mencintainya, memutuskan untuk menikah dengannya. Demikian pula dengan orang tuaku. Mereka malah sangat mengharapkan aku menjadi istrinya. Mungkin mereka mengharapkan kehidupan kami akan berubah, derajat kami meningkat dan dipandang oleh semua orang kampung bila aku sudah menjadi istrinya. Mungkin memang sudah nasibku untuk menjadi istri kedua, lagi pula hidupku cukup bahagia dengan statusku ini.
Semua itu kurasakan dua tahun yang lalu. Begitu menginjak tahun ke-3, barulah aku merasakan perubahan. Suamiku yang dulunya lebih sering berada di sisiku, kini mulai jarang muncul di rumah. Pertama seminggu sekali ia mengunjungiku, kemudian sebulan dan terakhir aku sudah tak menghitung lagi entah berapa bulan sekali dia datang kepadaku untuk melepas rindu.
Aku tak berani menghubunginya. Aku takut semua itu malah akan membuat hidupku lebih merana. Aku tak bisa membayangkan kalau istri pertamanya tahu keberadaanku. Tentunya akan marah besar dan mengadukanku ke polisi. Biarlah aku tanggung semua derita ini. Aku tak ingin orang tuaku terbawa sengsara oleh masalah kami. Mereka sudah hidup bahagia, memiliki rumah yang lebih besar, sawah dan ternak-ternak peliharaan yang banyak pemberian suamiku.
Hari hari yang kulalui semakin tidak menggairahkan. Aku berusaha untuk menyibukan diri dengan berbagai kerjaan agar tak merasa bosan ditinggal suami dalam waktu lama. Tetapi semua itu tidak membuat perasaanku tenang. Justru menjadi gelisah, terutama di malam hari. Aku selalu termenung sendiri di ranjang sampai larut malam menunggu kantuk yang tak kunjung datang. Kurasakan sprei tempat tidurku begitu dingin, tidak seperti di hari-hari awal pernikahan kami dulu. Pembungkus ranjang tidurku tak pernah rapi, selalu acak-acakan dan hangat bekas pergulatan tubuh kami yang selalu berkeringat. Di saat-saat seperti inilah aku selalu merasakan kesedihan yang mendalam, gelisah mendambakan kehangatan seperti dulu. Rindu akan cumbuan hangat suamiku yang sepertinya tak pernah padam meski usianya sudah mulai menua.
Kalau sudah terbayang semua itu, aku menjadi semakin gelisah. Gelisah oleh perasaanku yang menggebu-gebu. Bahkan akhir-akhir ini semakin membuat kepalaku pusing. Membuatku uring-uringan. Marah oleh sesuatu yang aku sendiri tak mengerti. Kegelisahan ini sering terbawa dalam impianku. Di luar sadarku, aku sering membayangkan cumbuan hangat suamiku. Bagaimana panasnya kecupan bibir suamiku di sekujur tubuhku. Aku menggelinjang setiap kali terkena sentuhan bibirnya, bergetar merasakan sentuhan lembut jemari tangannya di bagian tertentu tubuhku.
Aku tak mampu menahan diri. Akhirnya aku mencumbui diriku sendiri. Tangannku menggerayang ke seluruh tubuhku sambil membayangkan semua itu milik suamiku. Pinggulku berputar liar mengimbangi gerakan jemari di sekitar pangkal pahaku. Pantatku terangkat tinggi-tinggi menyambut desakan benda imajinasiku ke dalam diriku. Aku melenguh dan merintih kenikmatan hingga akhirnya terkulai lemas di ranjang kembali ke alam sadar bahwa semua itu merupakan kenikmatan semu. Air mataku jatuh bercucuran, meratapi nasibku yang tidak beruntung.
Pelarianku itu menjadi kebiasaan setiap menjelang tidur. Menjadi semacam keharusan. Aku ketagihan. Sulit menghilangkan kebiasaan yang sudah menjadi kebutuhan bathinku. Aku tak tahu sampai kapan semua ini akan berakhir. Aku sudah bosan. Kecewa, marah, sedih dan entah apalagi yang ada dalam perasaanku saat ini. Kepada siapa aku harus melampiaskan semua ini? Suamiku? Entah kapan ia datang lagi. Kepada orang tua? Apa yang bisa mereka perbuat? Oohh.. aku hanya bisa menangisi penderitaan ini.
Aku memang gadis kampung yang tak tahu keadaan. Aku tak pernah sadar bahwa keadaanku sehari-hari menarik perhatian seseorang. Aku baru tahu kemudian bahwa ternyata Mang Dadang, suami kakakku, mengikuti perkembanganku sehari-hari. Mereka memang tinggal di rumahku. Aku sengaja mengajak mereka tinggal bersama, karena rumahku cukup besar untuk menanmpung mereka bersama anak tunggalnya yang masih balita. Sekalian menemaniku yang hidup seorang diri.
“Kasihan Nyai Unun, temenin aja. Biar rumah kalian yang di sana dikontrakan saja” demikian saran orang tuaku waktu itu.
Aku pun tak keberatan. Akhirnya mereka tinggal bersamaku. Semuanya berjalan normal saja. Tak ada permasalahan di antara kami semua, sampai suatu malam ketika aku sedang melakukan hal ‘rutin’ terperanjat setengah mati saat kusadari ternyata aku tidak sedang bermimpi bercumbu dengan suamiku.
Sebelum sadar, aku merasakan kenikmatan yang luar biasa sekali. Terasa lain dengan khayalanku selama ini. Apalagi ketika puting payudaraku dijilat dan dihisap-hisap dengan penuh gairah. Aku sampai mengerang saking nikmatnya. Rangsangan itu semakin bertambah hebat menguasai diriku. Kecupan itu semakin menggila, bergerak perlahan menelusuri perutku terus ke bawah menuju lembah yang ditumbuhi semak-semak lebat di sekitar Nonok nikmat ku.
Aku hampir berteriak saking menikmatinya. Ini merupakan sesuatu yang baru, yang tak pernah dilakukan oleh suamiku. Bahkan dalam mimpipun, aku tak pernah membayangkan sampai sejauh itu. Di situlah aku baru tersadar. Terbangun dari mimipiku yang indah. Kubuka mataku dan melirik ke bawah tubuhku untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mataku yang masih belum terbiasa dengan keadaan gelap ruangan kamar, melihat sesuatu bergerak-gerak di bawah sana, di antara kedua pahaku yang terbuka lebar.
“Aduh kenapa sih ini..” gumamku setengah sadar sambil menjulurkan tanganku ke bawah sana.
Tanganku memegang sesuatu seperti rambut. Kuraba-raba dan baru kutahu bahwa itu adalah kepala seseorang. Aku kaget. Dengan refleks aku bangun dan merapat ke ujung ranjang sambil mencoba melihat apa terjadi. Setelah mataku terbiasa dengan kegelapan, kulihat di sana ternyata seseorang tengah merayap ke atas ranjang. Aku semakin kaget begitu kutahu orang itu adalah Mang Dadang, kakak iparku!
Saking kagetnya, aku berteriak sekuat tenaga. Tetapi aku tak mendengar suara teriakan itu. Kerongkonganku serasa tersekat. Hanya mulutku saja yang terbuka, menganga lebar-lebar. Kedua mataku melotot seakan tak percaya apa yang kulihat di hadapanku adalah Mang Dadang yang bertelanjang dengan hanya memakai cawat. Mang Dadang menghampiri sambil mengisyaratkan agar jangan berteriak. Tubuhku semakin mepet ke ujung dinding. Takut, marah dan lain sebagainya bercampur aduk dalam dihatiku melihat kehadirannya di kamarku dalam keadaan setengah telanjang seperti itu.
“Mang! Lagi apa..?” hanya itu yang keluar dari mulutku sementara tanganku sibuk membenahi pakaianku yang sudah tak karuan.
Aku baru sadar ternyata seluruh kancing baju tidurku semuanya terlepas dan bagian bawahnya sudah terangkat sampai ke pinggang. Untungnya saja celana dalamku masih terpakai rapi, hanya dadaku saja yang telanjang. Aku buru-buru menutupi ketelanjangan dadaku karena kulihat mata Mang Dadang yang liar nampaknya tak pernah berkedip menatap ke arah sana.
Saking takutnya aku tak bisa ngomong apa-apa dan hanya melongo melihat Mang Dadang semakin mendekat. Ia lalu duduk di bibir ranjang sambil meraih tanganku dan membisikan kata-kata rayuan bahwa aku ini cantik namun kurang beruntung dalam perkawinannya. Dadaku serasa mau meledak mendengar ucapannya. Apa hak dia untuk mengatakan semua itu? Aku tak butuh dengan belas kasihannya. Kalau saja aku tidak ingat akan istrinya, yang merupakan kakakku sendiri. Sudah kutampar mulut lancangnya itu. Apalagi ia sudah berani-berani masuk ke dalam kamarku malam-malam begini.

“Kemana Teh Lili?”. Teringat itu aku langsung bertanya
“Ssst, tenang ia lagi di rumah yang di sana” kata Mang Dadang dengan tenang seolah tidak bersalah.
Kurang ajar, runtukku dalam hati. Pantesan berani masuk ke kamar. Tapi kok Teh Lili nggak ngomong-ngomong sebelumnya.

“Kok dia nggak bilang-bilang mau pulang” Tanyaku heran.
“Tadinya mau ngomong. Tapi Mang Dadang bilang nggak usah kasihan Nyai Unun sudah tidur, biar nanti Amang saja yang bilangin” jelasnya.

  Dasar lelaki kurang ajar. Teh Lili dibohongi agar dia bebas leluasa masuk kamarku sebagai alibinya. Aku semakin geram. Pertama ia sudah kurang sopan masuk kamarku begitu saja, kedua ia berani mengkhianati teh Lili istrinya yang juga kakak kandungku sendiri!

“Amang sadar saya ini adik ipar mu. Amang mau ngapain kemari.. Cuma.. ngh.. pake gituan aja” kataku seraya melirik Mang Dadang sekilas. Aku tak berani lama-lama karena takut melihat tatapannya.
“Nyai..” panggilnya dengan suara parau.
“Amang kasihan lihat Nyai Unun. Akhir-akhir ini kelihatannya semakin menderita saja” ucapnya kemudian.
“Amang tahu dari mana saya menderita” sergahku dengan mata mendelik.
“Eh.. jangan marah ya. Itu.. nggh.. Amang.. anu..” katanya dengan ragu-ragu.
“Ada apa mang?” tanyaku semakin penasaran sambil menatap wajahnya lekat-lekat.
“Anu.. eh, Amang lihat kamu selalu kesepian. Lama ditinggal suami, jadi Amang ingin Bantu kamu” katanya tanpa malu-malu.
“Maksud Amang?”
“Ini.. Amang, maaf Nyai.., pernah lihat Nyai Unun kalau lagi tidur suka..” ungkapnya setengah-setengah.
“Jadi Amang suka ngintip saya?” tanyaku semakin sewot. Kulihat ia mengangguk lemah untuk kemudian menatapku dengan penuh gairah.
“Amang ingin menolong kamu” bisiknya hampir tak terdengar.
Kepalaku serasa dihantam petir mendengar pengakuan dan keberaniannya mengungkapkan isi hatinya. Sungguh kurang ajar lelaki ini. Berbicara seperti itu tanpa merasa bersalah. Dadaku serasa sesak oleh amarah yang tak tersalurkan. Aku terdiam seribu bahasa, badanku serasa lemas tak bertenaga menghadapi kenyataan ini. Aku malu sekali kegiatan onani ku selama ini diketahui orang lain. Aku tak tahu sampai sejauh mana Mang Dadang melihat rahasia di tubuhku. Aku tak ingin membayangkannya.
Mang Dadang tidak menyerah begitu saja melihat kemarahanku. Kebingunganku telah membuat diriku kurang waspada. Aku tak tahu sejak kapan Mang Dadang merapatkan tubuhnya kepadaku. Aku terjebak di ujung ranjang. Tak ada jalan bagiku untuk melarikan diri. Semuanya tertutup oleh tubuhnya yang jauh lebih besar dariku. Aku menyembunyikan kepalaku ketika ia merangkul tubuhku. Tercium aroma khas lelaki tersebar dari tubuh Mang Dadang. Aku rasakan otot-otot tubuhnya yang keras menempel di tubuhku. Kedua tangannya yang kekar melingkar sehingga tubuhku yang jauh lebih mungil tertutup sudah olehnya. Aku berontak sambil mendorong dadanya. Mang Dadang malah mempererat pelukannya. Aku terengah-engah dibuatnya. Tenagaku sama sekali tak berarti dibanding kekuatannya. Nampaknya usaha sia-sia belaka melawan tenaga lelaki yang sudah kesurupan ini.
“Mang inget.. saya kan adik Amang juga. Lepasin saya mang. Saya janji nggak akan bilang sama teteh atau siapa aja..” pintaku memelas saking putus asanya.
Hibaanku sama sekali tak dihiraukan. Mang Dadang memang sudah kerasukan. Wajahku diciumi dengan penuh nafsu bahkan tangannya sudah mulai menarik-narik pakaian tidurku. Aku berusaha menghindar dari ciuman itu sambil menahan pakaianku agar tak terbuka. Kami berkutat saling bertahan. Kudorong tubuh Mang Dadang sekuat tenaga sambil terus-terusan mengingatkan dia agar menghentikan perbuatannya. Lelaki yang sudah kerasukan ini mana bisa dicegah, justru sebaliknya ia semakin garang. Pakaian tidurku yang terbuat dari kain tipis tak mampu menahan kekuatan tenaganya. Hanya dengan sekali sentakan, terdengar suara pakaian dirobek. Aku terpekik kaget. Pakaianku robek hingga ke pinggang dan memperlihatkan dadaku yang sudah tak tertutup apa-apa lagi.
Kulihat mata Mang Dadang melotot menyaksikan Payudara ku yang montok dan kenyal, menggelantung indah dan menggairahkan. Kedua tanganku dengan cepat menutupi ketelanjanganku dari tatapan liar mata kakak iparku. Upayaku itu membuat Mang Dadang semakin beringas. Ia marah dan menarik kedua kakiku hingga aku terlentang di ranjang. Tubuhnya yang besar dan kekar itu langsung menindihku. Nafasku sampai tersengal menahan beban di atas tubuhku.
“Mang jangan!” cegahku ketika ia membuka tangannku dari atas dadaku.
Kedua tanganku dicekal dan dihimpit masing-masing di sisi kepalaku. Dadaku jadi terbuka lebar mempertontonkan keindahan Payudara ku yang menjulang tegar ke atas. Kepalaku meronta-ronta begitu kurasakan wajahnya mendekat ke atas dadaku. Kupejamkan mataku. Aku tak ingin menyaksikan bagian tubuhku yang tak pernah tersentuh orang lain kecuali suamiku itu, dirambah dengan kasar oleh Mang Dadang. Aku tak rela ia menjamahnya. Kucoba meronta di bawah himpitan tubuhnya. Sia-sia saja. Air mataku langsung menetes di pipi. Aku tak sanggup menahan tangisku atas perbuatan tak senonoh ini. Kulihat wajah Mang Dadang menyeringai senang melihatku tak meronta lagi. Ia terus merayuku sambil berkata bahwa dirinya justru menolong diriku. Ia, katanya, akan berusaha memberikan apa yang selama ini kudambakan.
“Nyai santai aja dan nikmati. Amang janji akan ngewe-in nyai Unun. Nggak kasar asal kamu jangan berontak..” katanya kemudian.
Aku tak ingin mendengarkan umbaran bualan dan rayuannya. Aku tak mau Mang Dadang mengucapkan kata-kata seperti itu, karena aku tak rela diperlakukan seperti ini. Aku benar-benar tak berdaya di bawah kekuasaannya. Aku hanya bisa terkulai pasrah dan terpaksa membiarkan Mang Dadang menciumi wajahku sesuka hati. Bibirnya dengan leluasa mengulum bibirku, menjilati seluruh wajahku. Aku hanya diam tak bergerak dengan mata terpejam.
Hatiku menjerit merasakan cumbuannya yang semakin liar, menggerayang ke leher dan teus turun ke atas dadaku. Aku menahan nafas manakala bibirnya mulai menciumi kulit di seputar Payudara ku. Lidahnya menari-nari dengan bebas menelusuri kemulusan kulit Payudara ku. Kadang-kadang lidahnya menjentik sekali-sekali ke atas putingku.
“Nggak rela.. Unun nggak rela..!” jeritku dalam hati.
Kudengar nafasnya semakin menderu kencang. Terdengar suara kecipakan mulutnya yang dengan rakus melumat seluruh payudaraku yang montok. Seolah ingin merasakan setiap inci kekenyalannya. Aku seakan terpana oleh cumbuannya. Hatiku bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada diriku. Kemana tenagaku? Kenapa aku tidak berontak? Kenapa membiarkan Mang Dadang berbuat semaunya padaku? Aku mendengus frustrasi oleh perasaanku sendiri. Aku benci pada diriku sendiri yang begitu mudah terpedaya oleh kelihaiannya bercumbu. Terjadi konflik bathin dalam diriku.
Di satu sisi, aku tak ingin diriku menjadi sasaran empuk nafsu lelaki ini. Aku adalah seorang wanita bersuami. Terpandang. Memiliki kehormatan. Aku bukanlah wanita murahan yang dapat sesuka hati mencari kepuasan. Tetapi di sisi lain, aku merasakan suatu desakan dalam diriku sendiri. Suatu keinginan yang begitu kuat, meletup-letup tak terkendali. Kian lama kian kuat desakannya. Tubuhku sampai berguncang hebat merasakan perang bathin ini.

Aku tak tahu mana yang lebih kuat. Bukankah perasaan ini yang kuimpikan setiap malam?
Tanpa sadar dari bibirku meluncur desisan dan rintihan lembut. Meski sangat perlahan, Mang Dadang dapat mendengarnya dan merasakan perubahan yang terjadi dari tubuhku. Ia ersenyum penuh kemenangan. Ia nampak begitu yakin bahwa aku akan menyerah kepadanya. Bahkan kedua cekalan tangannya pada tanganku pun dilepaskan dan berpindah ke atas Payudara ku untuk meremasnya. Ia sangat yakin aku tak akan berontak meski tanganku sudah terbebas dari cekalannya.
Memang tak dapat dipungkiri keyakinan Mang Dadang ini. Aku sendiri tidak memanfaatkan terbebasnya tanganku untuk mendorong tubuhnya dari atasku. Aku malah menaruhnya di atas kepala Mang Dadang yang bergerak bebas di atas dadaku. Tanganku malah meremas rambutnya, menekan kepalanya ke atas dadaku.
“Mang udah.. jangaann..!” rintihku masih memintanya berhenti.
Oh sungguh munafik sekali diriku! Mulutku terus-terusan mencegah namun kenyataannya aka malah mendorongnya untuk berbuat lebih jauh lagi. Akal sehatku sudah hilang entah kemana. Aku sudah tak ingat akan suamiku, kakakku, atau diriku sendiri. Yang kuingat hanyalah rangsangan dahysat akibat jilatan dan kuluman bibir Mang Dadang di seputar putingku. Tangannku menggerayang di atas punggungnya. Meraba-raba kekerasan otot-otot pejalnya.
Aku semakin terbang melayang, membayangkan keperkasaannya. Inikah jawaban atas semua mimpi-mimpiku selama ini? Haruskah semua ini kulakukan? Meski dengan kakak iparku sendiri? Apakah aku harus mengorbankan semuanya? Pengkhianatan pada suamiku? Kakakku? Hanya untuk memuaskan keinginanku seorang? Aakkhh.. tidak.. tidak! jeritku mengingat semua ini.
Namun apa mau dikata, cumbuan Mang Dadang yang begitu lihai sepertinya tahu persis keinginanku. Kebutuhanku yang sudah cukup lama terkemang. Letupan gairah wanita kesepian yang tak pernah terlampiaskan. Peperangan dalam bathinku usai sudah dan aku lebih mengikuti naluri gairah birahiku.
“Amaaaaaanggggkhhh..!” jeritku lirih tak sadar memanggil namanya saat puting susuku disedot kuat-kuat.
Aku menggelinjang kegelian. Sungguh nikmat sekali hisapan itu. Luar biasa. Kurasakan selangmanganku mulai basah, meradang. Tubuhku menggeliat-geliat bagai ular kepanasan mengimbangi permainan lidah dan mulut Mang Dadang di Payudara ku yang terasa semakin menggelembung keras.
“Oohh Nyai.. Indah sekali susu nya. Amang suka sekali.. mmpphh.. wuiihh.. montok banget” komentar Mang Dadang.
Sebenarnya hatiku tak menerima ucapan-ucapan kotor yang keluar dari mulut Mang Dadang. Sepertinya aku ini wanita murahan, yang biasa mengobral tubuhnya hanya demi kepuasan lelaki hidung belang. Tetapi perasaan itu akhirnya tertutup oleh kemahirannya dalam mencumbu diriku. Tubuhku sepertinya menyambut hangat setiap kecupan hangat bibirnya. Badanku melengkung dan dadaku dibusungkan untuk mengejar kecupan bibirnya. Nampaknya justru akulah yang menjadi agresif. Liar seperti kuda binal yang baru lepas kandang.
“Mmpphh.. Nyai Unun.. kalau saja Amang dari dulu tahu. Tentunya Nyai nggak perlu lagi gelisah tiap malam sendirian. Amang pasti mau nemenin semalamam..” celoteh Mang Dadang seakan tak tahu betapa malunya diriku mendengar ucapan itu.
Aku sudah tak perduli lagi dengan celotehan tak senonohnya. Aku sudah memutuskan untuk menikmati apa yang sedang kunikmati saat ini. Kudorong kepala Mang Dadang ke bawah menyusur perutku. Aku ingin merasakan seperti saat kubermimpi tadi. Rupanya Mang Dadang mengerti keinginanku. Dengan nafsu menggebu-gebu, ia mulai bergerak. Kedua tangannya menelusup ke bawah tubuhku, mencekal pinggangku. Mengangkat pinggulku sedikit kemudian tangannya ditarik ke bawah meraih tepian celana dalamku dan memelorotkannya hingga terlepas dari kedua kakiku. Aku mengikuti apa yang ia lakukan. Aku kini sudah terbebas. Pakaian tidurku entah sudah tercampak dimana. Tubuhku sudah telanjang bulat, tanpa sehelai benangpun yang menghalangi.
Kulirik Mang Dadang terbelalak memandangi ketelanjanganku. Ia seolah tak percaya dengan apa yang ada dihadapan matanya kini. Gairahku seakan mau meletup melihat tatapan penuh pesona mata Mang Dadang. Membuatku demikian tersanjung. Aku bangga dikarunia bentuk tubuh yang begitu indah. Kedua dadaku membusung penuh, keras dan kenyal. Perutku ramping dan rata. Pinggulku memiliki lekukan yang indah dan pantatku bulat penuh, menungging indah. Kedua kakiku panjang dan ramping. Mulai dari pahaku yang gempal dan bentuk betisku yang menggairahkan.

  Mang Dadang mungkin tak pernah menduga dengan keindahan tubuh yang ku miliki. karena memang setiap harinya aku selalu menggunakan pakaian tertutup dan tidak pernah menonjolkan keindahan lekukan tubuhku. Aku bisa membayangkan bagaimana terkagum-kagumnya Mang Dadang melihatku dalam keadaan telanjang bugil seperti ini
“Nyai.. kamu cantik sekali. Sempurna.. oohh indah sekali. Mmhh.. teteknya montok dan aakkhh.. lebat sekali..” puji Mang Dadang tak henti-hentinya menatap selangmanganku yang dipenuhi bulu hitam lebat, kontras dengan warna kulitku yang putih bersih.
Mataku melirik ke bawah melihat tonjolan keras di balik sempak nya. Uugghh.. kurasakan dadaku berdegub, Nonok ku berdenyut dan semakin membasah oleh gairah membayangkan Kontol perkasa dibalik sempak nya. Gede sekali dan panjang! Lenguhku dalam hati sambil menahan rangsangan hebat.

“Mang!!!.. ngghh.. jangan ngeliatin aja. Khan malu..” rengekku manja dengan gaya mulai bergenit-genit.
Seakan baru tersadar dari keterpesonaannya, Mang Dadang lalu mulai beraksi.
“Abisnya geulis pisan kamu sih, Nyai” katanya kemudian seraya melepaskan sempak nya hingga ia pun kini sama-sama telanjang.
Kulihat kontol perkasa yang keras itu meloncat keluar seperti ada pernya begitu lepas dari kungkungan sempak nya. Mengacung tegang dengan gagahnya. Aku terbelalak melihatnya. Benar saja besar dan panjang. Kulihat otot-ototnya melingkar di sekujur batang itu. Aku sudah tak sabar ingin merasakan kekerasannya dalam genggamanku. Terus terang baru kali ini aku melihat kontol selain milik suamiku. Dan apa yang dimiliki Mang Dadang membuat punya suamiku seperti milik anak kecil saja. Lagi-lagi aku membanding-bandingkan. Buru-buru pikiran itu kubuang. Aku lebih suka menyambut kedatangan Mang Dadang menindih tubuhku lagi. Kini aku langsung menyambut hangat ciumannya sambil merangkulnya dengan erat.
Ciuman Mang Dadang benar-benar menghanyutkan. Aku dibuatnya bergairah. Apalagi kurasakan gesekan kontol yang keras di atas perutku semakin membuat gairahku meledak-ledak. Mang Dadang lalu kembali menciumi Payudara ku. Kali ini kusodorkan dengan sepenuh hati. Kurasakan hisapan dan remasannya dengan penuh kenikmatan. Tanganku mulai berani lebih nakal. Menggerayang ke sekujur tubuhnya, bergerak perlahan namun pasti ke arah batangnya. Hatiku berdesir kencang merasakan batang nan keras itu dalam genggamanku.
Kutelusuri mulai dari ujung sampai pangkalnya. Jemariku menari-nari lincah menelusuri urat-urat yang melingkar di sekujur batangnya. Kukocok perlahan dari atas ke bawah dan sebaliknya. Terdengar Mang Dadang melenguh perlahan. Kuingin ia merasakan kenikmatan yang kuberikan. Ujung jariku menggelitik moncongnya yang sudah licin oleh cairannya. Lagi-lagi Mang Dadang melenguh. Kali ini lebih keras. Tiba-tiba saja ia membalikkan tubuhnya. Kepalanya persis berada di atas selangmanganku sementara miliknya persis di atas wajahku. Kulihat batangnya bergelantungan, ujungnya menggesek-gesek mulutku.
Entah dari mana keberanianku muncul, mulutku langsung menangkap Kontol nya yang berpkasa. Kukulum pelan-pelan. Sesungguhnya aku tak pernah melakukan hal ini kepada suamiku sebelumnya. Aku tak mengerti kenapa aku bisa berubah menjadi binal, tak ada bedanya dengan perempuan-perempuan nakal di jalanan. Namun aku tak peduli. Aku ingin merasakan kebebasan yang sebenar-benarnya. Kuingin semua naluriku melampiaskan fantasi-fantasi liar yang ada dalam diriku.
Kuingin menikmati semuanya. Mang Dadang tak mau kalah. Lidahnya menjulur menelusuri garis memanjang bibir Memek ku. Aku terkejut seperti terkena listrik. Tubuhku bergetar. Kurasakan darahku berdesir kemana-mana. Lidah Mang Dadang bermain lincah. Menjilat, menusuk-nusuk, menerobos rongga rahimku. Aku seperti melayang-layang di atas awan. Ini merupakan pengalaman yang luar biasa selama hidupku. Aku tak pernah merasakan dijilati seperti itu sebelumnya. Nikmatnya sungguh tak terkira. Pinggulku tak bisa diam, mengikuti kemana jilatan lidah Mang Dadang berada.
Tubuhku seperti dialiri listrik berkekuatan tinggi. Gemetar menahan desakan kuat dalam tubuhku. Rasanya aku tak tahan menerima kenikmatan ini. Perutku mengejang. Kakiku merapat, menjepit kepala Mang Dadang. Seluruh otot-ototku menegang. Jantungku serasa berhenti. Aku berkutat sekuat tenaga sampai akhirnya ku tak mampu lagi dan langsung melepaskannya diiringi jeritan lirih dan panjang. Tubuhku menghentak berkali-kali mengikuti semburan cairan hangat dari dalam liang memekku. Aku terhempas di atas ranjang dengan tubuh lunglai tak bertenaga. Puncak kenikmatan yang kucapai kali ini sungguh luar biasa dan dahysat. Aku merasa telah terbebas dari sesuatu yang sangat menyesakan dada selama ini.
“Oohh.. Maaaangggg.. ngghh.. enak sekali..” rintihku tak kuasa menahan diri.
Aku sendiri tak sadar dengan apa yang kuucapkan. Sungguh memalukan sekali pengakuan atas kenikmatan yang kurasakan saat itu. Aku tak ingin Mang Dadang menilai rendah diriku. Ku tak ingin ia tahu aku sangat menikmati cumbuannya. Kulihat Mang Dadang tersenyum di bawah sana. Ia merasa sudah mendapatkan kemenangan atas diriku. Ia bangga dengan kehebatannya bercinta hingga mampu membuatku orgasme lebih dulu. Aku tak bisa berbuat banyak, karena harus kuakui bahwa diriku sangat membutuhkannya saat ini. Membutuhkan apa yang sedang kuggengam dalam tanganku. Benda yang tentunya akn memberikan kenikmatan yang lebih dari yang kudapatkan barusan.
Tanpa sadar jemariku meremas-remas kembali batang Kontol nya yang berpkasa. Kukocok perlahan dan kumasukan ke dalam mulutku. Kukulum dan kujilat-jilat. Kurasakan Mang Dadang meregang, merintih kenikmatan. Aku tersenyum melihatnya seperti itu. Aku ingin ia merasakan kenikmatan pula. Kenikmatan yang akan membuatnya memohon-mohon padaku. Kulumanku semakin panas. Lidahku melata-lata liar di sekujur batangnya. Aku bertekad untuk mengeluarkan air maninya secepat mungkin.
Terdengar suara selomotan mulutku. Mang Dadang merintih-rintih keenakan. Rasain, runtukku dalam hati dan mulai tak sabar ingin melihat air maninya menyembur keluar. Di atas tubuhku, Mang Dadang menggerakan pinggulnya seolah sedang bersenggama, hanya saja saat itu Kontol nya yang berpkasa menancap dalam mulutku. Kuhisap, kusedot kuat-kuat. Ia masih bertahan. Aku kembali berusaha tetapi nampaknya ia belum memperlihatkan tanda-tanda. Aku sudah mulai kecapaian. Mulutku terasa kaku. Sementara gairahku mulai bangkit kembali. Liang memekku sudah mulai mengembang dan basah kembali, sedangkan kontol Mang Dadang masih tegang dan gagah perkasa. Bahkan terasa lebih keras.
“Udah Nyai. Ganti posisi aja..” kata Mang Dadang kemudian seraya membalikkan tubuhnya dalam posisi umumnya bersetubuh.
Mang Dadang memang piawai dalam bercinta. Ia tidak langsung menancapkan Kontol nya yang berpkasa ke dalam memekku, tetapi digesek-gesekan dulu di sekitar bibir Memek ku. Ia sepertinya sengaja melakukan itu. Kadang-kadang ditekan seperti akan dimasukan, tetapi kemudian digeserkan kembali ke ujung atas bibir Memek ku menyentuh kelentitku. Kepalanya digosok-gosokan. Aku menjerit lirih saking keenakan. Ngilu, enak dan entah apa lagi rasanya.
“Maang.. aduuhh.. udah mang! Sshh.. mmppffhh.. ayoo mang.. masukin aja.. nggak tahan!” pintaku menjerit-jerit tanpa malu-malu.
Aku sudah tak memikirkan lagi kehormatan diriku. Rasa gengsi atau apapun. Yang kuinginkan sekarang adalah ia segera mengisi kekosongan liang memekku dengan Kontol nya yang berpkasa yang besar dan panjang. Aku nyaris mencapai orgasme leagi hanya dengan membayangkan betapa nikmatnya kontol sebesar itu mengisi penuh liang memekku yang rapat.
“Udah nggak tahan ya, Nyai” candanya sehingga membuatku blingsatan menahan nafsu.
Kurang ajar sekali Mang Dadang ini. Ia tahu aku sudah dalam kendalinya jadi bisa mempermainkan perasaanku semau-maunya.Aku gemas sekali melihatnya menyeringai seperti itu. Di luar dugaannya, aku langsung menekan pantatnya dengan kedua tanganku sekuat tenaga. Mang Dadang sama sekali tak menyangka hal ini. Ia tak sempat menahannya. Maka tak ayal lagi batang Kontol nya yang berpkasa melesak ke dalam liang memekku. Aku segera membuak kedua kakiku lebar-lebar, memberi jalan seleluasa mungkin bagi Kontol nya yang berpkasa. Aku berteriak kegirangan dalam hati, akhirnya kontol Mang Dadang berhasil masuk seluruhnya. Meski cukup menyesakkan dan membuat liang memekku terkuak lebar-lebar, tetapi aku puas dan lega karena keinginanku tercapai sudah.
Kulihat wajah Mang Dadang terbelalak tak menyangka akan perbuatanku. Ia melirik ke bawah melihat seluruh Kontol nya yang berpkasa terbenam dalam liangku. Aku tersenyum menyaksikannya. Ia balas tersenyum.

“Kamu nakal ya..” katanya kemudian.
“Awas, entar Amang bikin kamu mati keenakan. ”
“Mau doongg..” jawabku dengan genit sambil memeluk tubuh kekarnya.
Mang Dadang mulai menggerakan pinggulnya. Pantatnya kulihat naik turun dengan teratur. Kadang-kadang digeol-geolkan sehingga ujung Kontol nya yang berpkasa menyentuh seluruh relung-relung vaginaku. Aku turut mengimbanginya. Pinggulku berputar penuh irama. Bergerak patah-patah, kemudian berputar lagi. Goyangan ini timbul begitu saja dalam benakku. Mungkin terlalu sering nonton penyanyi dangdut bergoyang di panggung. Tetapi efeknya sungguh luar biasa. Mang Dadang tak henti-hentinya memuji goyanganku. Ia bilang belum pernah merasakan goyangan sehebat ini. Aku tambah bergairah. Pinggulku terus bergoyang tanpa henti sambil mengedut-edutkan otot vaginaku sehingga Mang Dadang merasakan kontol seperti diemut-emut.
“Akkhh Neengg.. eennaakkhh.., hebaathh.. uugghh..” erangnya berulang-ulang.
Mang Dadang mempercepat irama ngentot. Kurasakan batang kontol besar itu keluar masuk liang memekku dengan cepatnya. Aku imbangi dengan cepat pula. Kuingin Mang Dadang lebih cepat keluar. Aku ingin membuatnya KO! Kami saling berlomba, berusaha saling mengalahkan. Kuakui permainan Mang Dadang memang RuaRRR biasa. Mungkin kalau aku belum sempat orgasme tadi, tentunya aku sudah keluar duluan. Aku tersenyum melihat Mang Dadang nampak berusaha keras untuk bertahan, padahal sudah kurasakan tubuhnya mulai mengejang-ngejang. Aku berpikir ia akan segera tumpah.
Pinggulku meliuk-liuk liar bak kuda binal. Demikian pula Mang Dadang, pantatnya mengaduk-aduk cepat sekali. Semakin bertambah cepat, sudah tidak beraturan seperti tadi. Aku terperangah karena tiba-tiba saja terasa aliran kencang berdesir dalam tubuhku. Akh.. nampaknya aku sendiri tidak tahan lagi. Memekku terasa merekah semakin lebar, kedua ujung puting susuku mengeras, mencuat berdiri tegak. Mulut Mang Dadang langsung menangkapnya, menyedotnya kuat-kuat. Menjilatinya dengan penuh nafsu. Aku membusungkan dadaku sebisa mungkin dan oohh.. rasanya aku tak kuat lagi bertahan.
“Mang Dadang! Cepet keluarin juga..!” teriakku sambil menekan pantatnya kuat-kuat agar mendesak nonok ku.
Beberapa detik kemudian aku segera menyemburkan air maniku disusul kemudian oleh semprotan cairan hangat dan kental menyirami seluruh liang memekku. Tubuh Mang Dadang bergetar keras. Ia peluk diriku erat-erat. Aku balas memeluknya. Kami lalu bergulingan di ranjang merasakan kenikmatan puncak permainan cinta ini dengan penuh kepuasan. Kami merasakannya bersama-sama. Kami sudah tidak memperdulikan tubuh kami yang sudah basah oleh peluh keringat, bantal berjatuhan ke lantai. Sprei berantakan tak karuan, terlepas dari ikatannya. Eranganku, jeritan nikmatku saling bersahutan dengan geramannya. Kedua kakiku melingkar di seputar pinggangnya. Aku masih merasakan kedutan-kedutan batang kontol Mang Dadang dalam memekku.
Nikmat sekali permainan gairah ngentot yang penuh dengan gelora nafsu birahi ini. Aku termenung merasakan sisa-sisa akhir kenikmatan ini. Pikiranku menerawang jauh. Apakah aku masih bisa merasakan kehangatan ini bersama Mang Dadang. Apakah hanya sampai disini saja mengingat perselingkuhan ini suatu saat akan terungkap juga. Bagaimana akibatnya? Bagaimana perasaan kakakku? Orang tuaku, suamiku dan yang lainnya? Akh! Aku tak mau memikirkannya saat ini. Aku tak ingin kenikmatan ini terganggu oleh hal-hal lain. Kuingin merasakan semuanya malam ini bersama Mang Dadang. Lelaki yang telah memberikan pengalaman baru dalam bercinta. Dialah orang yang telah membuat lembaran baru dalam garis kehidupan masa depanku.
Semenjak peristiwa di malam itu, aku dan Mang Dadang selalu mencari kesempatan untuk melakukannya kembali. Ia memang seorang lelaki yang benar-benar jantan. Begitu perkasa. Aku harus akui ia memang sangat pandai memuaskan wanita kesepian seperti diriku. Ia selalu hadir dalam dekapanku dengan gaya permainan yang berlainan. Aku tidak penah bosan melakukannya, selalu ada yang baru. Salah satu diantaranya, yang juga merupakan gaya favoritku, ia berdiri sambil memangku tubuhku. Kedua kakiku melingkar di pinggangnya, tanganku bergelayut di lehernya agar tak terjatuh. Nonok ku terbuka lebar dan batang Kontol nya yang berpkasa menusuk dari bawah.
Aku bergelayutan seperti dalam ayunan mengimbangi tusukan Kontol nya yang berpkasa. Mang Dadang melakukan semua itu sambil berjalan mengelilingi kamar dan baru berhenti di depan cermin. Saat kumenoleh kebelAmang aku bisa melihat bayangan pantatku bergoyang-goyang sementara Kontol nya yang berpkasa terlihat keluar masuk memekku. Sungguh asyik sekali permainan dalam gaya ini.
Namun perselingkuhan ku dengan Mang Dadang berlangsung tak begitu lama. Aku sudah sangat ketakutan semua ini suatu saat terungkap. Makanya aku memutuskan untuk pindah dari kampungku agar tidak bertemu lagi dengannya. Terus terang saja, setelah kejadian itu, justru akulah yang sering memintanya untuk datang ke kamarku malam-malam. Aku tak pernah bisa menahan diri. Apalagi kalau sudah melihatnya bercanda mesra dengan kakakku. Pernah suatu kali aku penasaran untuk mengintip mereka bercinta di kamarnya.
Aku kebingungan sendiri sampai akhirnya lari ke kamar dan melakukannya sendiri hingga aku mencapai kenikmatan karena menunggu Mang Dadang jelas tak mungkin karena istrinya ada di rumah. Keadaan ini jelas tak mungkin berlangsung terus menerus, selain akan terungkap, akupun rasanya akan menderita harus bertahan seperti ini.
Dengan berat hati akhirnya aku pindah ke kota. Kujual semua hartaku, termasuk rumah tinggal, sawah dan ternak-ternak milikku untuk modal nanti di kehidupanku yang baru. Kecuali mobil karena kuanggap akan sangat berguna sebagai alat transportasi untuk menunjang kegiatanku nanti.

Komentar